Image sekolah favorit atau bukan secara tidak langsung bisa membuat kesenjangan antar sekolah di Surabaya. Munif Chatib sebagai Pengamat dan Konsultan Pendidikan pada Radio Suara Surabaya mengatakan, beberapa sekolah menetukan kualitas mereka dari penerimaan siswa yang grade-nya bagus. Kemudian yang membedakan lagi sarana, prasarana, fasilitas dan lokasi.
"Kalau sekolah yang favorit itu biasanya yang negeri kan angkanya paling 1,2. Misalkan di satu kota ada 10 sekolah negeri, biasanya itu sekolah yang bagus sekolah negeri 1, 2 dan 3. Tapi sekolah negeri 9 dan 10 itu kacau atau kurang bagus. Sehingga pada nilai danem yang tinggi itu masuk ke sekolah negeri 1 tapi yang danemnya rendah masuk ke negeri 10. Kenapa tidak dibalik?" kata dia.
Munif menceritakan, di negara-negara maju seperti Jepang justru menyamaratakan kualitas sekolah. Caranya siswa masuk ke sekolah mana di tiap distrik ditentukan dewan pendidikan disesuaikan dengan jarak sekolah ke rumah.
Di Indonesia harusnya demikian. Langkah pertama untuk menghilangkan kesenjangan ini yakni dengan meningkatkan kualitas guru.
"Fisik sentralnya dari apa yang seharusnya dilakukan oleh sekolah baik negeri atau swasta adalah fokus pada peningkatan kualitas guru. Saya pikir sarana dan prasarana kalau diprioritaskan untuk Indonesia hari ini 70:30 persen. 70 persen harus untuk pengembangan kualitas SDM guru dan 30 persen untuk sarana prasarana," ujar dia.
Menurut Munif, sarana dan lokasi strategis seharusnya jadi penunjang bukan jadi pembeda klasifikasi mutu sekolah. Apalagi kalau mengandalkan input siswa dan mengklaim sekolah diatas rata-rata tanpa mempertimbangkan bagaimana mereka berproses belajar mengajar. (gk/dwi)
--------------------
Sekolah Untuk Semua
Keresahan terhadap sistem pendidikan di negara ini sepertinya mulai dirasakan banyak masyarakat. Terbukti dari menjamurnya sekolah dengan konsep pendidikan out of the box atau di luar dari umumnya sistem sekolah kebanyakan di negeri ini, semisal sekolah alam, sekolah yang mengganggap alam berserta isinya adalah kelas dengan luas tidak terkira atau sekolah inklusi yang mengusung konsep pendidikan manusiawi, sekolah yang berbasis soft skill, hingga rumah belajar.
Meningkatnya kriminalitas, pelecehan seksual hingga tawuran antar pelajar dewasa ini menjadi cambuk bagi para orang tua untuk lebih berhati-hati memilih sekolah terbaik untuk anak-anaknya. Maka, sekolah yang mengusung konsep pendidikan out of the box mulai dilirik sebagai sekolah alternatif di luar sekolah umum.
Sayangnya model sekolah seperti ini menarif harga relatif mahal, berbeda dengan sekolah-sekolah negeri yang biayanya terjangkau atau gratis. Selain itu, sekolah swasta pun banyak mematok harga cukup mahal, terlebih sekolah swasta dengan akreditasi baik, sekolah nasional plus atau sekolah international. Hampir semua sekolah punya standar harga relatif mahal.
Beberapa waktu lalu, penulis menerima keluhan dari beberapa orang tua bahwa sekolah-sekolah dengan konsep yang baik untuk anak mematok harga terlalu tinggi sehingga tidak banyak anak bisa mendapatkan sekolah yang baik tersebut karena tersandung masalah biaya. Para orang tua itu menyimpulkan sekolah yang baik hanya untuk anak-anak orang kaya. Sedangkan semestinya, sekolah untuk semua anak.
Memang, semestinya pendidikan untuk semua putra-putri bangsa. Namun pada implementasinya masih banyak anak belum mendapatkan pendidikan. Jangankan pendidikan yang baik, bahkan masih ada anak putus sekolah karena masalah biaya. Pemerintah memang telah berusaha memberikan hak pendidikan kepada setiap anak, tapi harus diakui masih ada kesenjangan di mana-mana dalam hal pendidikan.
Semestinya keluhan tersebut disampaikan kepada pemerintah, bukan kepada sekolah yang bertarif tinggi tersebut (terlepas dari status pengkastaan pendidikan). Sebab, pemerintah mestinya bertanggung jawab terhadap pendidikan setiap warganya dengan dengan menghapus kesenjangan pendidikan.
Jangan heran jika ada orang tua yang berkecukupan memilih sekolah dengan konsep yang baik dan fasilitas memadai untuk anak-anaknya. Sebab, sekolah di negeri ini punya perbedaan yang jauh antara satu dengan yang lain baik dalam hal konsep maupun fasilitas. Bisa jadi anak-anak di sekolah A harus menggotong meja mereka jika hujan turun karena atas kelap bocor, sementara di sekolah lain siswa duduk tenang dengan AC yang dingin.
Berbeda dengan di Jepang dan Finlandia, semua sekolah punya taraf sama. Tidak ada sekolah unggulan, taraf internasional atau semacamnya, sebab semua sekolah harus unggul. Pemerintah berusaha keras agar tidak ada kesenjangan antar sekolah, sehingga semua orang tua bebas memilih sekolah untuk anaknya, sebab perbedaan mutu antar sekolah di sana sangat kecil.
Pemerintah Finlandia tidak segan-segan mengucurkan dana untuk pendidikan dan membayar lebih dari 200 ribu euro untuk pendidikan tiap-tiap siswa. Negara juga tidak membedakan antara sekolah negeri dengan sekolah swasta, keduanya memperoleh bantuan dengan jumlah sama dan gaji guru yang cukup fantastis juga dibayar negara. Hasilnya, Finlandia menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.
Di negeri ini, masih ada ketimpangan antara sekolah negeri dengan swasta. Sekolah swasta masih terkesan "dianaktirikan" sehingga agar bisa terus hidup sekaligus menghidupi pegawai dan guru-gurunya terpaksa mematok harga tinggi. Maka, keluhan demikian harusnya ditujukan kepada pemerintah, bukan sekolah. Kita tahu 20% dana APBN ditujuan untuk pendidikan, tapi kita tidak tahu ke mana semua uangnya.
Home Schooling
Terlepas dari perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan baik dari segi finansial maupun kualitas pendidikan, kita sebagai masyarakat yang sudah sadar pentingnya pendidikan dan model pendidikan terbaik untuk anak hendaknya tidak diam saja.
Jika kita sudah sadar bahwa model pendidikan di negeri ini tidak berjalan baik maka kita harus menyelamatkan anak-anak kita. Jika sekolah dengan konsep yang baik
terasa terlalu mahal, sebenarnya ada cara lain untuk memberikan pendidikan yang baik kepada anak, salah satunya home schooling. Praktisi pendidikan pun banyak yang kini lebih memilih meng-home schooling-kan anak-anak mereka.
Home schooling bisa jadi alternatif pendidikan untuk anak jika sekolah-sekolah yang baik sistemnya terasa biayanya tidak terjangkau, sementara kepercayaan terhadap sekolah-sekolah formal merosot tajam. Analoginya seperti ini, pendidikan seperti kita sedang ingin makan enak, kita bisa makan di restoran yang sudah terjamin rasanya.
Tapi tentu restoran itu harganya mahal. Jika tidak sanggup kita bisa memasak sendiri dengan meracik secara baik sehingga terasa enak. Tak sedikit orang sukses berasal dari home schooling. Paling terkenal mungkin Thomas Alva Edison, di-home schooling-kan ibunya setelah dikeluarkan dari sekolah karena dianggap lambat dalam belajar.
Intinya adalah, kesadaran pentingnya pendidikan yang baik untuk anak mestinya dimiliki semua orang tua. Jangan hanya mengeluhkan, tapi bertindak nyata agar pemerintah pun sadar ada yang salah dengan sistem pendidikan selama ini. (Oleh: Nur Akmal SPd)
Penulis alumnus FKIP UMSU dan seorang guru
Sumber :
http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2014/136076-Image-Sekolah-Picu-Kesenjangan-
http://medanbisnisdaily.com/news/read/2014/06/20/101649/implementasi_pendidikan_untuk_semua/#.U6PM1ZSSxSM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Komentar:
Post a Comment