Jun 22, 2014

Mengunjungi Srikandi Pendidikan di Pelosok Hutan



Keseharian Muslikah layaknya ibu rumah tangga biasa. Memasak, mencuci, membereskan rumah hingga menyiapkan seluruh keperluan rumah tangga, sudah menjadi aktivitas rutinnya.

Namun, siapa kira, di balik kesederhanaannya itu, ternyata perempuan kelahiran Tulung Agung, Lampung, 47 tahun silam ini adalah figur pelopor srikandi pendidikan di Kabupaten Kaur, Provinsi Bengkulu.

Ia dinobatkan oleh pemkab setempat karena kegigihannya untuk memperjuangkan hak untuk mengenyam pendidikan bagi kedua anaknya, Diki Aditia Saputra (11 tahun) dan Ummi Maisaroh (16 tahun).

Diki diketahui mengalami cacat fisik sehingga tidak bisa berjalan dan Ummi mengalami keterbelakangan mental. Tentu ini merupakan perjuangan berat. Apalagi, tempat tinggal Muslikah jauh berada di dalam pelosok hutan.

Setidaknya membutuhkan waktu berjalan kaki dua hari atau berkendara motor sekitar tiga jam perjalanan menempuh tanah lumpur dan medan yang berat.

Pendidikan anaknya, bagi Muslikah merupakan segalanya. Karena itu, ia selalu bangun subuh untuk bergegas menyiapkan kebutuhan rumah tangga dan mengantar kedua anaknya untuk bersekolah di satu-satunya sekolah di desa mereka.

Dari kediaman Muslikah ke sekolah sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya butuh waktu sekitar 35 menit berjalan kaki.

Namun, apresiasi inilah yang membuat Muslikah dinobatkan menjadi Srikandi Pendidikan. Karena, ketika di sejumlah kota besar kita melimpahkan urusan pendidikan anak ke sekolah atau guru dan memberikan segala fasilitas yang dibutuhkan anak. Tidak dengan Muslikah.

Ia rela antar jemput anaknya, bahkan hingga menungguinya di ruang kelas. Muslikah ingin memastikan, bahwa hak anaknya untuk bersekolah memang didapatkan.

"Satu anak saya cacat (Diki) dan satu lagi agak kurang warasnya. Tapi bagi saya mereka tetap harus sekolah. Biarlah orang mau bilang apa, buang waktu atau apa. Saya cuma ingin anak saya pintar dan bisa berguna kelak," ujar Muslikah.

Kegigihan Muslikah memang tidak sia-sia. Diki, yang saat ini sudah duduk di kelas V, selalu unggul di kelas. Diki selalu masuk ranking lima besar. "Cuma Ummi yang tidak naik-naik kelas, kini masih di kelas I. Tapi tidak apalah, yang penting dia bisa baca tulis saja cukup," katanya.

Suami Muslikah, Wagiman (55) bermata pencaharian sebagai petani dengan berkebun kopi dan lada hitam ataupun menjadi buruh upahan. Menurut Muslikah, tidak memiliki cukup waktu untuk membantu mengurus rumah tangga, sehingga seluruh aktivitas rumah tangga di bawah kendali Muslikah.

Karena itu, pasangan suami istri ini sudah bersepakat untuk berbagi tugas. Wagiman mencari nafkah, Muslikah mengurus rumah dan anak-anak. Berbeda dengan ibu rumah tangga lainnya, yang harus membantu suami di ladang.

“Diki selalu bilang ke saya, katanya, kalau nanti dia (Diki) bodoh karena tidak bersekolah atau mengaji, berarti bukan salah dia, tapi salah Emak. Jadi, suka atau tidak suka, saya harus gendong si Diki ke sekolah dan mengajinya. Niat saya cuma ingin anak saya tidak berbeda dengan anak-anak lainnya,” tuturnya.

Ingin jadi ahli komputer
Kegigihan luar biasa keluarga kecil ini. Memang patut diapresiasi. Di balik keterbatasannya, Diki dikenal cerdas dan periang di lingkungan sekolah. Diki tidak pernah merasa minder untuk bermain bersama rekan sekolahnya.

Ketika ditanya tentang cita-citanya, dia menjawab ingin menjadi ahli dalam ilmu komputer. Padahal, sebagian besar siswa di sekolah itu rata-rata bercita-cita jadi tukang ojek atau pekerja di kebun, seperti layaknya profesi warga desa yang lainnya.
Cita-cita itu juga yang membuat Pemkab Kaur memberikan apresiasi luar biasa kepadanya.

Bak gayung bersambut, pemkab setempat menganugerahkannya laptop, meja belajar, alat tulis, seragam sekolah hingga ke generator diesel (genset) diberikan secara cuma-cuma.

“Diki sudah bisa mengoperasikan laptop yang dikasih Pak Bupati. Biar belum begitu mahir dan cuma sebatas ngetik-ngetik sedikit dan main game. Dibanding anak-anak lain dan si Ummi, Diki lebih mahir,” ujar Muslikah.

Karena itu, di mata Muslikah, kendati kedua buah hatinya memiliki perbedaan sifat dan bawaan satu sama lain.

Diki dan Ummi, sudah menjadi bagian dari semangat perjuangannya. Tinggal di Desa Tanjung Aur yang terisolir dan jauh dari keramaian serta dengan segala keterbatasan desa ini. Menjaga sekaligus mengasuh kedua buah hatinya adalah prioritas utama yang dilakoninya.

“Apapun cara akan saya lakukan untuk anak-anak saya. Entah apa yang akan kami tanam (berkebun) nantinya, Diki dan Ummi hidupnya harus lebih baik dari emak dan bapaknya. Kami sudah cukup keras menjalani hidup disini, jangan sampai mereka juga mengalaminya,” tutur Muslikah serius.

Kepala Sekolah SDN 13 Maje Sumaryana mengaku kagum pada semangat Diki dan Muslikah.

Dengan segala keterbatasannya, Diki dan Muslikah menjadi contoh nyata semangat seorang ibu yang tidak ingin anaknya dikucilkan dan mendapatkan perlakuan yang sama, khususnya dalam bidang pendidikan.

“Tidak semua orang punya semangat seperti Muslikah. Dan karena ini juga yang membuat sekolah kami bangga. Karena sekalipun daerah kami jauh terpencil, semangat warga kami cukup tinggi untuk menyekolahkan anaknya,” ujar Sumaryana.

Desa Tanjung Aur sendiri, secara administratif terletak di Kecamatan Maje. Dari ibu kota Kabupaten Kaur, Bintuhan, Maje terbilang cukup dekat. Karena hanya berjarak 25 Km dari ibu kota kabupaten.

Namun demikian, letak desa ini jauh di pelosok bukit yang berjarak kurang lebih 15 kilometer dari ibu kota Kecamatan Maje.

Selain itu, hanya mampu dilintasi dengan kendaraan roda dua atau berjalan kaki, dengan jarak tempuh di musim kemarau sekitar 3 jam dan musim hujan dengan waktu tempuh sekitar 6 jam perjalanan kendaraan roda dua.

“Bagi warga disini, dianggap terisolir itu sudah bukan cerita baru. Cuma kalau soal pendidikan, sedapat mungkin apapun akan dilakukan. Muslikah, Diki dan Ummi sudah menjadi bukti nyata, bahwa pendidikan itu bukan cuma sebatas bersekolah saja. Tapi lebih kepada niat, semangat dan prestasi,” ujar Sumaryana. (ita)

Sumber : http://nasional.news.viva.co.id/news/read/514784-mengunjungi-srikandi-pendidikan-di-pelosok-hutan

0 Komentar:

Post a Comment