Jun 24, 2014
Kiprah Komite Sekolah Disorot (Padang)
Main mata pihak sekolah dengan komite dalam memungut pungutan, lumrah dalam dunia pendidikan. Meski Pemko Padang sudah mencanangkan pendidikan gratis tahun ajaran ini, masih membuka celah bagi komite melakukan pungutan.
Kreativitas sekolah dan komite melakukan pungutan pada calon siswa baru dan peserta didik, bukan cerita baru. Berbagai cara dilakukan elite-elite sekolah agar anak didik membayar berbagai pungutan berkedok iuran sukarela.
Saryono, 37, warga Parakkarakah yang pernah menjadi komite sekolah, mengaku persekongkolan antara oknum komite dan pihak sekolah sudah menjadi rahasia umum. Oknum komite memanfaatkan keberadaannya untuk bekerja sama dengan pihak sekolah.
"Sebelum rapat bersama wali murid, saya dipanggil kepala sekolah. Di situ pihak sekolah menginstruksikan beberapa modus iuran. Saat itu saya tidak setuju karena adanya pembayaran untuk penggantian fotokopi soal-soal tes guru mata pelajaran," ungkap Saryono yang pernah menjadi komite sekolah di tahun 2013 lalu ini.
Karena adanya praktik tersebut, Saryono memilih mundur dari komite setelah satu dari dua anaknya telah tamat dari sekolah tersebut. "Komite sekolah justru menjadi lahan subur sekolah menuai untung setelah pemerintah mengharamkan berbagai pemungutan," ungkapnya.
Komite sering menjadi stempel bagi sekolah untuk melegalisasi aneka pungutan. Akibatnya, keberadaan komite cenderung membela kepentingan kepala sekolah dan guru, ketimbang memperjuangkan hak-hak peserta didik.
Untuk meloloskan berbagai program sekolah, pengurus komite memainkan perannya dengan menjalani segala prosedural agar pungutan bisa dilegalkan.
Salah satunya, mengundang seluruh orangtua murid menghadiri rapat pembahasan program beserta penetapan besaran pungutan.
"Biasanya, rapat komite ini hanya formalitas. Sekadar meminta legitimasi pada orangtua murid untuk menetapkan pungutan. Suka atau tidak suka, yang program dan nominal pungutan sudah disiapkan," kata Hendri, mantan pengurus komite sekolah salah satu SD di Padang.
Rapat komite sekolah biasanya tidak mempertimbangkan kuorum atau tidak jumlah orangtua murid yang hadir.
"Biasanya yang hadir pengurus komite dan segelintir orangtua murid. Saat rapat, para orangtua murid itu tidak berani memprotes besaran pungutan yang ditetapkan pengurus komite. Mungkin karena malu berbicara di depan orang banyak, sehingga mereka hanya diam. Coba lihat kalau sudah selesai rapai, langsung para orangtua murid itu langsung protes," ulas Hendri, pegawai swasta ini.
Gustini, 39, wali murid, mengakui enggan bicara saat rapat komite. "Sering tidak bisa hadir rapat karena kesibukan. Kalaupun ikut rapat, saya ragu juga memprotes karena nanti dibilang macam-macam," ujar wanita yang enggan menyebut anaknya sekolah di SMP mana.
Ketua Komite SD 05 Sawahan, Kecamatan Padang Timur, Undrisal mengatakan, komite sekolah sebagai lembaga mandiri profesional sangat dibutuhkan untuk membantu pembangunan fisik sekolah yang tidak mampu dijangkau dana BOS, seperti pembangunan sarana dan prasarana sekolah bahkanan gaji guru honorer.
"Waktu itu anak saya mengeluhkan sakit perut di kelas. Ketika ditanya guru, ternyata ia menahan buang air besar karena enggan ke WC yang tersumbat. Jumlah toilet pun tidak sesuai jumlah murid. Makanya saya usulkan kepada wali murid menyumbang pembangunan WC. Akhirnya selesailah bangunan WC seharga 24 jutaan," jelasnya.
Undrisal mengaku saat ini jumlah anggota komite yang aktif hanya 15 orang yang bertindak sebagai pengurus. Meski begitu, diakuinya, setiap ada rapat komite, wali murid yang hadir hanya 50 persen dari total wali murid. Selain dari wali murid, komite juga mengusahakan proposal bantuan ke PT Semen Padang.
Berbeda dengan komite SD 05 yang akur dengan pihak sekolah, komite SMAN 9 Padang merasa kurang dilibatkan dalam proses pembangunan sekolah. Ketua komite SMAN 9, Mahyudi mengakui selama ini komite hanya sebagai tukang stempel dari sekolah.
"Pernah sekolah dapat bantuan Rp 400 juta untuk rehab sekolah. Di proses pembangunan tidak pernah melibatkan komite. Tapi setelah uang habis, kepala sekolah memberikan hasil laporan kerja kepada komite untuk ditandatangani," jelasnya.
Begitupun soal Lembar Kerja Siswa (LKS). Tanpa rapat, keluar keputusan agar setiap anak harus memiliki LKS. "Kami berharap kepala sekolah yang baru transparan soal dana pembangunan sekolah dan lainnya. Apa pun program sekolah, sedianya melibatkan komite," ucapnya.
Salah seorang siswa SMAN 9 mengaku saat masuk sekolah tahun ajaran 2012/2013. membayar Rp 1,8 juta dengan rincian uang pembangunan (komite), uang OSIS, seragam dan uang sekolah sebulan. Sedangkan SPP Rp 145 ribu per bulan dengan rincian Rp 120 ribu untuk SPP, dan Rp 25 ribu untuk pembayaran OSIS dan komputer.
Selain itu, setiap naik kelas membayar daftar ulang Rp 150 ribu. "Itu biaya tahun kemarin, tapi kabarnya tahun ini tidak ada lagi uang komite," ujar siswi yang enggan menyebutkan nama ini.
Kepala SMAN 9 Padang, Yensi Morita ketika dikonfirmasi lewat telepon dan pesan singkat tidak digubris.
Disanksi
Masih terbukanya peluang pungutan itu tecermin dari pernyataan Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Padang, Indang Dewata. Dia mengatakan, walau uang SPP dan uang pembangunan gratis tahun ajaran baru ini, komite masih diberikan kesempatan melakukan pungutan.
"Tapi, Disdik berjanji melakukan pengawasan dan kajian apakah pungutan itu mendesak dan berkaitan dengan program pemerintah. Jika bisa diatasi dengan anggaran pemerintah, mengapa dibebankan ke orangtua. Inilah yang menjadi kajian kita di Disdik," ujarnya.
Indang menegaskan pihak sekolah tidak boleh melakukan intervensi terhadap komite. "Intinya sekolah hanya memaparkan program. Jika ada keinginan orangtua membantu, ya dipersilakan, namanya bantuan tidak dipatok berapa dan dalam bentuk apa," katanya. (v/c/eko)
Sumber : http://www.padangekspres.co.id/berita/51250/kiprah-komite-sekolah-disorot.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Komentar:
Post a Comment