Jun 30, 2014

Komite Sekolah Pilar Pendidikan


Zennis Helen
Dosen Fakultas Hukum Universitas Ekasakti dan Peneliti di Yayasan Bina Mulia (YABIM) Kabupaten Pasaman

Pada hari Selasa, 24 Juni 2014 halaman 9 harian Padang Ekspres menurunkan berita yang berjudul "Kiprah Komite Sekolah Disorot". Aroma persekongkolan antara sekolah dengan komite sekolah kembali terkuak ke permukaan. Pasalnya, pertengahan tahun ini bertepatan dengan momen penerimaan siswa baru di setiap tingkat satuan pendidikan. Persekongkolan itu pada akhirnya membebani wali murid untuk membayar iuran atau pungutan sekolah. Padahal, pemerintah sudah membiayainya.

Keberadaan komite sekolah selama ini tidak pernah diaktifkan fungsi dan perannya. Komite ini seharusnya menjadi jembatan penghubung dan komunikasi antara sekolah dengan pihak wali murid yang dilakukan secara kontinu. Namun, lagi-lagi komite sekolah hanya dibicarakan dan dicari ketika penerimaan wali murid, di luar itu pihak sekolah tidak mau tahu lagi dengan komite sekolah.

Diibaratkan sebuah negara, komite sekolah dapat dikatakan sebagai DPR atau lembaga legislatifnya. Komite sekolah bertugas untuk melakukan pertimbangan dan pengawasan terhadap mutu dan pelayanan sekolah. Sedangkan, pihak guru dan segala perangkat yang ada di dalamnya adalah lembaga eksekutif yakni yang diberi tugas untuk menjalankan kegiatan operasional sekolah sehari-hari. Hal ini sesuai dengan Pasal 56 Ayat 3 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang berbunyi "Komite sekolah/madrasah sebagai lembaga mandiri, yang dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan".

Filosofi dasar pembentukan komite sekolah ini sangat baik, karena akan ada peran serta masyarakat yang tergabung dalam bingkai komite sekolah guna bersama-sama dengan pihak guru memikirkan, berbuat untuk kemajuan dan perkembangan sekolah ke arah yang lebih baik. Kemudian, ditegaskan lagi dalam Pasal 1 angka 25 UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas yang menyatakan bahwa "Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang beranggotakan orangtua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan".

Yang perlu digarisbawahi adalah kata-kata "peduli pendidikan". Orang yang dipilih untuk duduk di komite sekolah bukanlah orang sembarangan. Seyogianya adalah orang memiliki kepedulian terhadap pendidikan. Orang yang mempunyai gagasan dan ide serta jaringan yang luas untuk memajukan dan mengembangkan pendidikan. Bukan pula orang yang mau mencari makan dan penghidupan dari bantuan dan sarana yang diterima oleh satuan pendidikan.

Di setiap tingkat satuan pendidikan banyak komite sekolah yang tidak mengetahui tugasnya selaku komite sekolah. Tidak terjadi proses pengawasan dan perimbangan antara sekolah dengan komite sekolah. Pihak sekolah cenderung tidak melibatkan komite sekolah dalam urusan kemajuan dan perkembangan sekolah. Begitu juga halnya, dengan persoalan dana yang diterima oleh sekolah, komite sekolah tidak pernah diberitahukan dan dijelaskan oleh pihak sekolah.

Komite sekolah hanya digunakan pada saat-saat ada masalah atau kemendesakan masalah sekolah. Misalnya, jika terjadi masalah antara guru dengan murid atau bertepatan dengan acara penerimaan murid baru maka komite sekolah diundang oleh pihak sekolah untuk membahas uang pungutan yang akan ditetapkan oleh sekolah dengan melibatkan persetujuan wali murid. Sering kali pungutan ini dilakukan tanpa ada aturannya dan sengaja dibuat-buat oleh pihak sekolah.

Praktik yang dilakukan oleh guru dengan komite sekolah dengan bersekongkol adalah cara-cara ilegal dalam dunia pendidikan dan tidak dapat dibenarkan. Dinas pendidikan setempat harus memanggil guru dan komite sekolah yang melakukan perbuatan tidak terpuji ini. Perbuatan ini jelas-jelas merusak dunia pendidikan kita. Jika cara-cara ini tidak dihentikan, maka sulit bagi kita menciptakan pendidikan yang bermartabat dan maju.

Sulit melahirkan calon-calon pemimpin terbaik di masa depan. Jika yang mengawasi dan yang diawasi sudah sama-sama buruk dan korup maka kepada siapa lagi kita akan meminta pengawasan. Komite sekolah harus mempunyai visi ke depan, dan memikirkan bagaimana sekolah dapat maju dan berkembang. Caranya bukan dengan metode konvensional itu, jika dana kurang maka diminta iuran kepada wali murid. Hal ini semua orang bisa melakukan. Anak SMA yang baru lulus ujian UN bisa menjadi komite sekolah jika caranya seperti ini.

Penulis berpandangan, komite sekolah harus lebih berdaya. Komite sekolah tidak boleh lagi menjadi subordinat sekolah karena posisi dan kedudukan antara komite sekolah dengan guru sama tinggi. Kedudukannya sama tetapi yang membedakan hanya fungsinya. Tugas menjadi komite sekolah sebenarnya adalah tugas sosial. Komite sekolah tidak memiliki gaji. Oleh karenanya pemerintah sudah menggarisbawahi bahwa orang yang ditunjuk menjadi komite sekolah adalah orang yang peduli terhadap pendidikan.

Ke depan, pemerintah harus memberdayakan komite sekolah ini karena perannya sangat menentukan terhadap kemajuan pendidikan. Selama ini keberadaan komite sekolah antara ada dan tiada. Padahal, komite sekolah mendapat pengakuan normatif dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas.

Belum pernah kita mendengar, para komite sekolah di setiap satuan pendidikan mendapatkan pelatihan dari dinas pendidikan bagaimana cara berperan serta dalam bidang pendidikan. Hal-hal apa yang harus dilakukan. Akibatnya, kurangnya pengetahuan komite sekolah dalam bidang pendidikan maka mengharapkan komite ini berperan serta dan berkontribusi dalam pendidikan atau menjadi pilar pendidikan akan semakin sulit dan menemui jalan buntu.

Artinya, kapasitas komite sekolah harus juga ditingkatkan. Jika tidak, praktik persekongkolan antara komite sekolah dengan guru setiap tahun adalah lagu lama yang terus berulang. Oleh karena itu, pemberdayaan terhadapnya adalah sebuah solusi. Semoga.

Sumber : http://www.padangekspres.co.id/artikel/4895/komite-sekolah-pilar-pendidikan.html

0 Komentar:

Post a Comment