Jun 27, 2014

Revoluasi Mental Jepang : Kaizen (1)

Pada era 60-an, Jepang mencoba bangkit dan memasuki pasar global untuk barang hasil industri, baik industri elektronik, otomotive dan lain sebagainya. Bagaimana respon dunia? Jepang menjadi cemoohan dan bahan tertawaan, barang hasil industri Jepang dicemooh sebagai barang tiruan, imitasi dan kuno, dan sebagainya. Mobil Mazda “kotak”, Suzuki “mini”, saat itu dianggap sebagai mobil mainan, dan hanya dilirik oleh orang-orang yang pengin punya mobil, tetapi duit cekak. Pengendara mobil Jepang pada waktu itu, umumnya mendapat cibiran dari pengendara mobil Eropah atau mobil Amerika, bahwa mobil Eropa atau mobil Amerika-lah baru mobil beneran.

Kini, industri mobil Jepang telah menjadi trend setter bagi perkembangan industri mobil dunia. Selain itu, Mitsubishi dan Kawasaki telah masuk dalam jajaran industri mesin dan alat-alat berat di dunia dan Sumitomo merupakan industri besar di bidang chemical. Dan lain-lain. Demikian pula industri elektronik. Tidak ada satu pun di dunia ini yang dapat menyangkal dominasi industri elektronik Jepang. SONY, TOSHIBA, PANASONIC dan SHARP untuk TV dan audio.

Apa yang mereka lakukan untuk mencapai itu semua? Yang mereka lakukan bukan hal yang rumit, bukan menjiplak berbagai teori ekonomi dari Barat, tetapi membakar semangat tenaga kerja dan integritas tentang “etika bisnis” yang timbul dari pemikiran Ishida Baigan pada abad ke 18, kemudian diajarkan secara luas pada sekolah-sekolah Ishida yaitu Sekimon Shin-gaku, mengajarkan etika kejujuran dalam mengejar laba, dan profesionalisme di dalam bekerja, telah berhasil dengan sangat efektif.

Kemudian ditambah dengan pemikiran yang dicetuskan oleh Shibusawa Eichi pada awal abad ke 20 yaitu semboyan : “hasilkan panen yang bermutu tinggi, dan jual!”, telah berhasil membentuk masyarakat Jepang menjadi “masyarakat produksi” yang mementingkan kualitas, sehingga mereka menerapkan konsep pengendalian mutu terpadu (total quality control), bukan hanya untuk industri, tetapi berawal dari teknik produksi pertanian. Bila anda pernah melihat filem dokumenter tentang petani labu dan semangka di salah satu daerah Hokkaido (bagian utara Jepang), anda akan melihat bagaimana kerja keras ”paguyuban petani semangka” untuk menghasilkan semangka yang berkualitas, sehingga dapat diterima dan dijual pada supermarket dan department store di Tokyo.

Bahkan dewasa ini ada pameo dikalangan dunia usaha internasional, mengatakan, kalau ingin memasarkan barang hasil produksinya ke pasar global, lakukan dulu test jual di Jepang. Apabila kualitasnya sudah diakui di Jepang, maka pasti, kualitas barang tersebut akan diterima di pasar internasional. Mengapa demikian? bangsa Jepang adalah bangsa yang paling rewel dan jelimet akan kualitas. Mereka sungguh-sungguh menerapkan philosopy bahwa pelanggan adalah raja, sehingga mereka menerapkan konsep “product liability”, yaitu tanggung jawab terhadap konsumen yang mengalami resiko akibat memakai produksi mereka. Untuk itu, Jepang tidak pernah berhenti melakukan perbaikan. KAIZEN, adalah budaya kerja mereka, yang bahkan sering tidak mereka sadari bahwa mereka memiliki budaya tersebut.

Di tahun 1950-an, Masaaki Imai, bekerja di Japan Productivity Center di Washington DC. mengantar sekelompok pengusaha Jepang yang sedang mengunjungi perusahaan Amerika untuk mempelajari “rahasia produktivitas industri Amerika. Toshiro Yamada, sekarang pensiunan profesor di Faculty of Engineering di Universitas Kyoto, adalah salah seorang anggota kelompok belajar yang mengunjungi Amerika Serikat untuk mempelajari industri kendaraan. Belum lama berselang anggota kelompoknya berkumpul kembali untuk merayakan ulang tahun perak perjalanan mereka.

Di meja perjamuan Yamada mengatakan bahwa, belum lama ini ia kembali ke Amerika Serikat dalam “perjalanan sentimentil” untuk meninjau kembali beberapa perusahaan yang telah dikunjunginya, di antaranya pabrik baja River Rouge di Dearborn, Michigan. Dengan menggelengkan kepalanya karena heran, ia berkata, “Tahukah Anda bahwa bahwa pabrik itu tetap sama seperti 25 tahun yang lalu”.

Ia juga bercerita tentang kunjungan ke Eropa akhir-akhir ini, di mana ia telah memimpin sekelompok pengusaha dalam sebuah penelitian tentang perusahaan genteng dan ubin. Waktu mereka mengembara dari satu perusahaan ke perusahaan lain, anggota kelompoknya menjadi semakin gelisah dan kecewa atas sarana “kuno” yang diterimanya.

Kelompok tersebut heran ketika menemukan bahwa pabrik-pabrik masih mempergunakan ban berjalan, dan bahwa baik kayawan maupun pengunjung harus berjalan melangkahi ban berjalan atau berjalan dengan membungkukkan badan di bawahnya, membuktikan bahwa tidak ada tindakan pengamanan. Salah seorang anggota berkata “Bila mereka tidak memperhatikan keselamatan karyawan, maka di sana tidak ada manajemen”. Di Jepang modern jarang dijumpai ban berjalan. Bila masih dipergunakan juga, maka ban berjalan dirancang sedemikian rupa sehingga seseorang tidak perlu berjalan melangkahi ataupun berjalan dengan membungkukkan badan di bawahnya.

Walaupun demikian Yamada juga menyatakan bahwa sarana di universitas Barat dan lembaga riset lebih maju keadaannya, dan bahwa proyek riset Barat kaya akan daya cipta dan kreativitas.

Belum lama ini dia mengadakan perjalanan ke Amerika Serikat dengan Fujio Umibe, specialis kepala pada Toshiba Research and Development Center. Umibe bercerita tentang pertemuannya dengan teman sekerjanya dari salah satu perusahaan Toshiba yang terpencil di Jepang. Setelah mendengar bahwa Umibe belum meninjau kembali perusahaan tersebut selama hampir sepuluh tahun, temannya menegurnya, katanya: “Anda harus datang dan meninjaunya. Anda tidak akan mengenalinya sekarang!” Sebagai bukti dia diberitahu bahwa seperempat bagian dari lini produksi pada salah satu perusahaan Toshiba telah diubah sewaktu perusahaan itu ditutup selama seminggu pada liburan musim panas tahun 1984.

Pembicaraan ini membuat dia berpikir tentang perbedaan besar antara ancangan manajer Jepang dengan Barat terhadap cara kerja mereka. Tidak mungkin perusahaan Jepang tetap tidak berubah selama waktu seperempat abad.

Sudah lama dia mencari konsep kunci untuk menerangkan kedua ancangan manaje-men yang sangat berbeda itu. Suatu konsep yang juga dapat membantu menerangkan bagaimana banyak perusahaan Jepang memperoleh keunggulan kompetisi yang sedemikian hebat. Misalnya, bagaimana menerangkan kenyataan bahwa walaupun kebanyakan gagasan baru datang dari Barat dan beberapa perusahaan lembaga, dan teknologi yang paling mutakhir ada di sana, toh masih ada perusahaan yang tidak berubah sejak 1950?
Perubahan adalah hal yang yang lazim. Belum lama ini seorang eksekutif Amerika dalam sebuah perusahaan multinasional bercerita bahwa pada awal rapat, panitia eksekutif, pimpi-nan perusahaannya berkata: “Tuan-tuan, tugas kita ialah memanajemeni perubahan. Bila kita gagal, kita harus mengubah manajemennya.” Eksekutif itu tertawa dan berkata: “Kami semua memahami maksudnya!”

Perubahan juga merupakan gaya hidup orang Jepang. Tetapi apakah kita berbicara tentang perubahan yang sama sewaktu kita berkata tentang memanajemeni perubahan atau manajemen perubahan lainnya? Dia menyadari bahwa mungkin ada beberapa jenis peru-bahan: bertahap dan mendadak. Walaupun kita dapat melihat dengan jelas perbedaan kedua jenis perbedaan ini di Jepang, tetapi perubahan bertahap tidak begitu jelas terlihat dalam gaya hidup orang Barat. Bagaimana kita dapat menerangkan perbedaan ini?

Pertanyaan ini mendorongnya menyimak tentang nilai. Mungkinkah perbedaan sistem nilai di Jepang dan di Barat yang menjadi alasan adanya perbedaan sikap mereka terhadap perubahan dan perubahan mendadak? Perubahan mendadak dapat dilihat dengan jelas oleh setiap orang dan mereka biasanya menyukainya. Hal ini umumnya berlaku baik di Jepang maupun di Barat. Tetapi bagaimana halnya dengan perubahan bertahap? Pernyataannya yang terdahulu bahwa tidak mungkin perusahaan Jepang tetap tidak mengalami perubahan selama bertahun-tahun, mengacu baik kepada bertahap maupun perubahan mendadak.

Setelah menyimak kembali semua ini, dia menarik kesimpulan bahwa kunci perbedaan antara pandangan orang Barat dan orang Jepang terhadap perubahan terletak pada konsep KAIZEN – sebuah konsep yang begitu lazim dan masuk akal bagi kebanyakan manajer Jepang sehingga mereka bahkan sering tidak menyadari bahwa mereka memilikinya! Konsep KAIZEN menerangkan mengapa perusahaan Jepang mustahil tidak mengalami perubahan selama bertahun-tahun. Selain itu, setelah bertahun-tahun mempelajari praktik bisnis orang Barat, dia menarik kesimpulan bahwa konsep KAIZEN tidak ada atau sedikit sekali diterapkan dalam perusahaan Barat saat ini. Lebih buruk lagi, mereka menolaknya tanpa terlebih dahulu mempelajari apa manfaatnya. Hal ini merupakan gejala “tidak ditemukan di sini” yang kuno. Akibat kekurangan konsep KAIZEN-lah maka sebuah pabrik Amerika atau Eropa tidak mengalami perubahan selama seperempat abad.

Sumber : http://aljurem.wordpress.com/2012/05/05/manajemen-jepang/

0 Komentar:

Post a Comment