Saat titian karier sebagai dokter sudah mulai nyaman, dr Irina Amongpradja lebih memilih mengurusi anak-anak pemulung di sekitarnya. Sekolah Kita, payung teduh pendidikan yang dia dirikan, kini menjadi sandaran anak-anak telantar yang ingin mengecap manisnya menuntut ilmu.
----------
M HILMI SETIAWAN, Bekasi
----------
HARI pertama tahun pelajaran baru kemarin (14/7) berubah menjadi pesta ulang tahun sederhana. Memang bukan hari yang persis bagi perempuan yang akrab disapa Ina itu merayakan ulang tahun ke-56. Perempuan kelahiran Bandung tersebut berulang tahun tiap 12 Juli.
"Tidak apa-apa terlambat sedikit. Ini kan hari pertama sekolah. Kemarin masih libur," kata dokter alumnus Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung tersebut. Para siswa dari SD hingga SMP silih berganti menampilkan karyanya khusus bagi pendiri Sekolah Kami itu. Diawali paduan suara anak-anak kelas II SD dan kemudian disusul kakak kelasnya yang kelas IV.
Ina tampak tidak kuasa menahan haru. Ketika para siswa kelas IV membawakan lagu Kunang-Kunang, matanya mulai berkaca-kaca. Air matanya tumpah saat anak-anak SD lainnya membawakan puisi pendek. "Bunda Ina terima kasih. Berkat kamu, kami bisa sekolah"
Kemarin seluruh siswa yang berjumlah hampir seratus anak itu berkumpul di pendapa utama. Gedung berukuran sekitar 10 x 10 meter persegi tersebut sekaligus menjadi tempat latihan bermain angklung. Itu adalah bangunan terbesar di sekolah yang menempati lahan seluas 3.000 meter persegi tersebut.
Di Sekolah Kami tak ada seragam atau tas anyar di tahun pelajaran baru. Baju tetap lusuh. Mereka juga tak wajib mengenakan sepatu. Pakai sandal jepit juga boleh.
Ina mengatakan, sistem kelas di tempatnya berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Kelas dibuat sedemikian rupa berdasar mata pelajaran utama. Ruang kelas yang terbuat semipermanen itu terdiri atas kelas matematika, IPA, IPS, dan sebagainya. Dengan demikian, anak dari jenjang kelas mana pun, jika waktunya belajar matematika, akan masuk ke kelas itu. "Dengan skema ini, kata Ina, siswa tidak bosan dengan ruang kelas yang itu-itu saja."
Ina menceritakan kisah hidupnya dari seorang dokter hingga menjadi pendiri sekolah swadana tersebut. Dia mengingat lagi momen wisuda dan sumpah profesi dokter pada 1984. Ketika itu sumpah profesi diiringi lagu Bagimu Negeri. "Syair lagu Bagimu Negeri itu benar-benar terngiang terus. Ini (menjadi guru dan pendiri sekolah, Red) wujud pengabdian saya kepada negeri," urainya.
Ibu Farah dan Fahmi itu mengatakan, setelah lulus dari Unpad, dirinya bekerja menjadi dokter umum dengan status PNS. Ina pernah ditugaskan ke beberapa daerah, termasuk di wilayah Timor Timur (kini Timor Leste) sebelum berpisah dengan Indonesia.
Setelah berkecimpung lama di dunia medis, Ina mencoba mencari makna kebahagiaan sesungguhnya. Menurut keyakinannya, kebahagiaan tidak bisa semata-mata diukur dari uang. Bahagia ada di hati dan tak terbeli.
Dalam pencariannya itu, Ina beberapa kali blusukan ke kantong-kantong pemulung. Perempuan yang tinggal di kawasan Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, tersebut mendapati banyak anak pemulung yang tidak bersekolah. Mereka berada di lingkaran kemiskinan.
Banyak di antara anak-anak itu yang lahir dari keluarga tanpa buku nikah karena tidak tercatat di kantor urusan agama (KUA). "Jadi, kalau ada bapaknya yang bosan atau bermasalah, ditinggal kabur begitu saja. Selain itu, ada yang satu saudara hingga lima orang," paparnya.
Melihat kondisi tersebut, akhirnya pada 2001 Ina memutuskan untuk membuat wadah pendidikan bagi anak-anak pemulung dan miskin lainnya. Awalnya pembelajaran dilakukan di dalam Barak Transito Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Jakarta Timur.
Selang beberapa tahun kemudian, mereka berpindah tempat belajar ke gedung bekas Suku Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Jakarta Timur. Tetapi, tidak lama kemudian, mereka diusir dengan halus karena gedung itu akan dipakai untuk Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Jakarta Timur.
Akhirnya Ina memutuskan harus menyewa lahan sendiri. Dia menyiasati mahalnya sewa bangunan di Jakarta dengan menyewa lahan yang sebelumnya dipakai untuk tempat pembuangan sampah sekaligus kantong permukiman pemulung.
Lokasinya dekat sekali dengan jalan tol Bekasi Barat. Jika ditarik dari Kuningan, salah satu pusat bisnis di Jakarta, jaraknya sekitar 20 km. Ina sempat menunjukkan lokasi awal pendirian Sekolah Kami yang penuh sampah.
Setelah dipermak habis, pada 2007 lahan itu bisa dipakai. Jika dilihat dari atas, sekolah tersebut diapit pusat pembuangan sampah dan permukiman kumuh pemulung. Menurut Ina, permukiman itu sebenarnya sehat, tetapi levelnya rendah. Masyarakat yang tinggal di situ harus beradaptasi dengan segala jenis penyakit di dalamnya.
Memilih lokasi di pusat pembuangan sampah juga memiliki banyak keuntungan. Yakni, anak-anak pemulung di sekitarnya mudah menjangkau Sekolah Kami. Sekolah ini berkapasitas 150 siswa untuk jenjang SD dan SMP.
Sistem kelembagaannya mirip dengan PKBM (pusat kegiatan belajar masyarakat). Namun, jelas Ina, Sekolah Kami tidak mengikuti regulasi pendaftaran ini dan itu. Sekolahnya berdiri begitu saja sampai saat ini.
Ketika menjelang ada ujian nasional, anak-anak di kelas VI SD disiapkan ikut ujian paket A. Sedangkan siswa di kelas III SMP disiapkan mengikuti ujian paket B. Meskipun sekolahnya tidak terdaftar, terang Ina, anak-anaknya tetap berhak mendapatkan ijazah. "Sekarang yang berijazah saja susah mencari kerja, apalagi yang tidak berijazah," tuturnya.
Ina mengatakan, anak-anak pemulung harus keluar dari keluarga yang umumnya buta aksara. Melalui sekolah dengan sistem belajar yang menyenangkan, ujar Ina, anak-anak bisa mudah mengikuti pelajaran membaca dan menulis.
Kepada siswanya juga ditekankan pembentukan karakter. Dia juga mengajarkan penanaman karakter dengan cara berbeda. Anak mantan atase militer di Rusia almarhum Mayjen Agus Amongpradja itu mencontohkan penanaman Pancasila. "Kami tidak memulainya dengan hafalan. Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa, bla..bla..bla"," kata dia.
Sebaliknya, pembelajaran Pancasila dimulai dengan praktik. Contohnya, ketika itu ada rombongan murid dari sekolah internasional yang umumnya warga negara asing. Ina menjelaskan kepada anak didiknya bahwa tamu mereka tersebut datang dari latar belakang agama berbeda-beda. "Tetapi, kita tetap berkawan kan dengan mereka. Meskipun beda, mereka tidak jahat kan. Itulah makna dari Pancasila," jelasnya.
Selama mendampingi anak-anak belajar bersama delapan guru lainnya, Ina mendapatkan banyak pelajaran berharga. Seperti keluh kesah yang disampaikan para siswanya. Misalnya ketika dia dicurhati salah seorang murid perempuan. Saat itu, kepada Ina, si murid mengeluhkan sikap ayahnya. Si murid memiliki tabungan dari hasil bermain angklung bersama teman-temannya di Sekolah Kami. Uang di tabungannya saat itu sekitar Rp3 jutaan.
Ina mengisahkan, uang tabungan tersebut tidak boleh diutak-atik, termasuk oleh orang tua, karena untuk biaya melanjutkan pendidikan ke SMA sederajat. Namun, si bapak sedang kalap dan mengancam menarik anaknya dari Sekolah Kami. "Bapak itu bersedia tidak menarik asalkan diperbolehkan menggunakan uang dalam tabungan anaknya," jelas Ina.
Kondisinya sangat dilematis. Sebab, ayah si murid itu pernah meminjam uang tabungan anaknya, tetapi tidak kunjung mengembalikan. Ina khawatir anak didiknya tersebut kebingungan untuk menyiapkan uang ketika masuk SMA nanti. Dengan beberapa negosiasi, akhirnya si ayah tidak jadi memakai uang anaknya itu.
Ina mengatakan sangat bersyukur ketika ada lulusan Sekolah Kami berhasil keluar dari lingkaran kemiskinan. Misalnya, ada mantan anak didiknya yang bisa mandiri dengan membuka bengkel atau tempat jahit. Perlahan-lahan mereka bisa keluar dari jurang kemiskinan. (*/c9/sof/ce2)
sumber : http://www.sumeks.co.id/hn/19682-sulap-bekas-pembuangan-sampah-jadi-sekolah-menyenangkan
----------
M HILMI SETIAWAN, Bekasi
----------
HARI pertama tahun pelajaran baru kemarin (14/7) berubah menjadi pesta ulang tahun sederhana. Memang bukan hari yang persis bagi perempuan yang akrab disapa Ina itu merayakan ulang tahun ke-56. Perempuan kelahiran Bandung tersebut berulang tahun tiap 12 Juli.
"Tidak apa-apa terlambat sedikit. Ini kan hari pertama sekolah. Kemarin masih libur," kata dokter alumnus Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung tersebut. Para siswa dari SD hingga SMP silih berganti menampilkan karyanya khusus bagi pendiri Sekolah Kami itu. Diawali paduan suara anak-anak kelas II SD dan kemudian disusul kakak kelasnya yang kelas IV.
Ina tampak tidak kuasa menahan haru. Ketika para siswa kelas IV membawakan lagu Kunang-Kunang, matanya mulai berkaca-kaca. Air matanya tumpah saat anak-anak SD lainnya membawakan puisi pendek. "Bunda Ina terima kasih. Berkat kamu, kami bisa sekolah"
Kemarin seluruh siswa yang berjumlah hampir seratus anak itu berkumpul di pendapa utama. Gedung berukuran sekitar 10 x 10 meter persegi tersebut sekaligus menjadi tempat latihan bermain angklung. Itu adalah bangunan terbesar di sekolah yang menempati lahan seluas 3.000 meter persegi tersebut.
Di Sekolah Kami tak ada seragam atau tas anyar di tahun pelajaran baru. Baju tetap lusuh. Mereka juga tak wajib mengenakan sepatu. Pakai sandal jepit juga boleh.
Ina mengatakan, sistem kelas di tempatnya berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Kelas dibuat sedemikian rupa berdasar mata pelajaran utama. Ruang kelas yang terbuat semipermanen itu terdiri atas kelas matematika, IPA, IPS, dan sebagainya. Dengan demikian, anak dari jenjang kelas mana pun, jika waktunya belajar matematika, akan masuk ke kelas itu. "Dengan skema ini, kata Ina, siswa tidak bosan dengan ruang kelas yang itu-itu saja."
Ina menceritakan kisah hidupnya dari seorang dokter hingga menjadi pendiri sekolah swadana tersebut. Dia mengingat lagi momen wisuda dan sumpah profesi dokter pada 1984. Ketika itu sumpah profesi diiringi lagu Bagimu Negeri. "Syair lagu Bagimu Negeri itu benar-benar terngiang terus. Ini (menjadi guru dan pendiri sekolah, Red) wujud pengabdian saya kepada negeri," urainya.
Ibu Farah dan Fahmi itu mengatakan, setelah lulus dari Unpad, dirinya bekerja menjadi dokter umum dengan status PNS. Ina pernah ditugaskan ke beberapa daerah, termasuk di wilayah Timor Timur (kini Timor Leste) sebelum berpisah dengan Indonesia.
Setelah berkecimpung lama di dunia medis, Ina mencoba mencari makna kebahagiaan sesungguhnya. Menurut keyakinannya, kebahagiaan tidak bisa semata-mata diukur dari uang. Bahagia ada di hati dan tak terbeli.
Dalam pencariannya itu, Ina beberapa kali blusukan ke kantong-kantong pemulung. Perempuan yang tinggal di kawasan Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, tersebut mendapati banyak anak pemulung yang tidak bersekolah. Mereka berada di lingkaran kemiskinan.
Banyak di antara anak-anak itu yang lahir dari keluarga tanpa buku nikah karena tidak tercatat di kantor urusan agama (KUA). "Jadi, kalau ada bapaknya yang bosan atau bermasalah, ditinggal kabur begitu saja. Selain itu, ada yang satu saudara hingga lima orang," paparnya.
Melihat kondisi tersebut, akhirnya pada 2001 Ina memutuskan untuk membuat wadah pendidikan bagi anak-anak pemulung dan miskin lainnya. Awalnya pembelajaran dilakukan di dalam Barak Transito Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Jakarta Timur.
Selang beberapa tahun kemudian, mereka berpindah tempat belajar ke gedung bekas Suku Dinas Pendidikan Menengah dan Tinggi Jakarta Timur. Tetapi, tidak lama kemudian, mereka diusir dengan halus karena gedung itu akan dipakai untuk Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Jakarta Timur.
Akhirnya Ina memutuskan harus menyewa lahan sendiri. Dia menyiasati mahalnya sewa bangunan di Jakarta dengan menyewa lahan yang sebelumnya dipakai untuk tempat pembuangan sampah sekaligus kantong permukiman pemulung.
Lokasinya dekat sekali dengan jalan tol Bekasi Barat. Jika ditarik dari Kuningan, salah satu pusat bisnis di Jakarta, jaraknya sekitar 20 km. Ina sempat menunjukkan lokasi awal pendirian Sekolah Kami yang penuh sampah.
Setelah dipermak habis, pada 2007 lahan itu bisa dipakai. Jika dilihat dari atas, sekolah tersebut diapit pusat pembuangan sampah dan permukiman kumuh pemulung. Menurut Ina, permukiman itu sebenarnya sehat, tetapi levelnya rendah. Masyarakat yang tinggal di situ harus beradaptasi dengan segala jenis penyakit di dalamnya.
Memilih lokasi di pusat pembuangan sampah juga memiliki banyak keuntungan. Yakni, anak-anak pemulung di sekitarnya mudah menjangkau Sekolah Kami. Sekolah ini berkapasitas 150 siswa untuk jenjang SD dan SMP.
Sistem kelembagaannya mirip dengan PKBM (pusat kegiatan belajar masyarakat). Namun, jelas Ina, Sekolah Kami tidak mengikuti regulasi pendaftaran ini dan itu. Sekolahnya berdiri begitu saja sampai saat ini.
Ketika menjelang ada ujian nasional, anak-anak di kelas VI SD disiapkan ikut ujian paket A. Sedangkan siswa di kelas III SMP disiapkan mengikuti ujian paket B. Meskipun sekolahnya tidak terdaftar, terang Ina, anak-anaknya tetap berhak mendapatkan ijazah. "Sekarang yang berijazah saja susah mencari kerja, apalagi yang tidak berijazah," tuturnya.
Ina mengatakan, anak-anak pemulung harus keluar dari keluarga yang umumnya buta aksara. Melalui sekolah dengan sistem belajar yang menyenangkan, ujar Ina, anak-anak bisa mudah mengikuti pelajaran membaca dan menulis.
Kepada siswanya juga ditekankan pembentukan karakter. Dia juga mengajarkan penanaman karakter dengan cara berbeda. Anak mantan atase militer di Rusia almarhum Mayjen Agus Amongpradja itu mencontohkan penanaman Pancasila. "Kami tidak memulainya dengan hafalan. Sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa, bla..bla..bla"," kata dia.
Sebaliknya, pembelajaran Pancasila dimulai dengan praktik. Contohnya, ketika itu ada rombongan murid dari sekolah internasional yang umumnya warga negara asing. Ina menjelaskan kepada anak didiknya bahwa tamu mereka tersebut datang dari latar belakang agama berbeda-beda. "Tetapi, kita tetap berkawan kan dengan mereka. Meskipun beda, mereka tidak jahat kan. Itulah makna dari Pancasila," jelasnya.
Selama mendampingi anak-anak belajar bersama delapan guru lainnya, Ina mendapatkan banyak pelajaran berharga. Seperti keluh kesah yang disampaikan para siswanya. Misalnya ketika dia dicurhati salah seorang murid perempuan. Saat itu, kepada Ina, si murid mengeluhkan sikap ayahnya. Si murid memiliki tabungan dari hasil bermain angklung bersama teman-temannya di Sekolah Kami. Uang di tabungannya saat itu sekitar Rp3 jutaan.
Ina mengisahkan, uang tabungan tersebut tidak boleh diutak-atik, termasuk oleh orang tua, karena untuk biaya melanjutkan pendidikan ke SMA sederajat. Namun, si bapak sedang kalap dan mengancam menarik anaknya dari Sekolah Kami. "Bapak itu bersedia tidak menarik asalkan diperbolehkan menggunakan uang dalam tabungan anaknya," jelas Ina.
Kondisinya sangat dilematis. Sebab, ayah si murid itu pernah meminjam uang tabungan anaknya, tetapi tidak kunjung mengembalikan. Ina khawatir anak didiknya tersebut kebingungan untuk menyiapkan uang ketika masuk SMA nanti. Dengan beberapa negosiasi, akhirnya si ayah tidak jadi memakai uang anaknya itu.
Ina mengatakan sangat bersyukur ketika ada lulusan Sekolah Kami berhasil keluar dari lingkaran kemiskinan. Misalnya, ada mantan anak didiknya yang bisa mandiri dengan membuka bengkel atau tempat jahit. Perlahan-lahan mereka bisa keluar dari jurang kemiskinan. (*/c9/sof/ce2)
sumber : http://www.sumeks.co.id/hn/19682-sulap-bekas-pembuangan-sampah-jadi-sekolah-menyenangkan